Aku nggak mau sekolah, ah. Mendingan ngamen dapet duit. Kalo aku sekolah, aku nggak bisa setoran. (pengamen, 8th)
Tidak jarang ketika melewati beberapa daerah di Jakarta,
tampak sejumlah rumah nomaden yang berderet. Sejumlah rumah tampak reyot
dan tidak layak huni. Rumah-rumah tersebut berdinding kardus. Ketika
mata terpaut pada isi rumah, rasanya tidak seimbang. Para penghuninya
tidur bertumpuk dalam satu ruangan yang menyatu dengan dapur. Bahkan
terdapat rumah yang berisikan beberapa keluarga. Betapa ketimpangan
sosial mengakar, di saat gedung megah menjulang tinggi bernilai
triliyunan, dengan jarak kurang dari seratus meter masih saja terdapat
daerah kumuh yang berpenghunikan masyarakat buta huruf.
Jangankan berpikir menuntaskan
buta huruf, fragmen utama bagi mereka adalah bagaimanakah supaya asap
dapur tetap mengepul dan tidak mati kelaparan. Paradigma tersebut
dijadikan acuan bahwa pendidikan tidak pernah menjadi prioritas utama.
Orang tua
tidak peduli untuk menyelamatkan pendidikan anak-anaknya. Berdalih
bahwa pendidikan mahal, anak-anak dipaksa untuk mencari uang dengan cara
menjual belas kasih. Padahal menurut Karen K dalam bukunya yang
berjudul Social Work & Social Welfare, kemiskinan menciptakan
kelas sosial dalam pekerjaan yang tentunya dipengaruhi dari tingkat
pendidikan yang dimilikinya, semakin tinggi kelas sosialnya, biasanya
memiliki jenjang pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi.
Polemik ini seperti efek domino yang tidak dengan mudah dihentikan. Kemiskinan merupakan penyebab lemahnya pendidikan, kosongnya pendidikan pun berdampak pada kemiskinan. Saling bersinergi. Apabila pada jam sekolah sejumlah anak bebas melenggang menuju sekolah, di sisi lain masih terdapat anak yang duduk di pinggir jalan sembari mencari angkutan demi mencari rupiah dengan kecrekan tutup botol dalam genggaman. Ketika mata menuju sebuah mobil mewah, tampak seorang anak obesitas dengan kedua tangan menggenggam makanan, di luar kaca seorang anak kurang gizi bernyanyi parau sambil membayangkan betapa nikmatnya berada di dalam tempat nyaman ber-AC beralaskan jok lembut.
Tidakkah kita miris melihat keironian itu? Sebagai remaja,
kita beruntung masih dapat mengenyam bangku perkuliah. Menurut
Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 2006, jumlah penduduk buta
huruf di Indonesia mencapai 15,4 juta jiwa atau sekitar 9 persen dari
total jumlah penduduk! Jangankan mengenyam bangku kuliah, terdapat 15,4
juta kepala tidak dapat membaca. Bagaimana mereka melangsungkan hidup
nyaman tanpa mengenal huruf? Bagaimana mereka dapat sadar akan urgensi
pendidikan? Sedangkan pendidikan masih diasumsikan mahal. Sekolah gratis
masih mencekik leher orang tua murid ketika tidak henti menagih uang
praktek komputer dan study tour.
Lalu, apakah peran kita sebagai mahasiswa dalam menuntaskan polemik
ini. Mahasiswa berada pada posisi menengah, yakni berperan aktif
sebagai penghubung antara strata atas dan bawah.
Pertama, membentuk komunitas belajar. Acuan
pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan alternatif, yakni model
pendidikan sekolah untuk anak-anak miskin (anak-anak dari kawasan kumuh,
anak putus sekolah, buruh anak dan anak jalanan). Model pendidikan ini
mempunyai tujuan untuk membentuk karakter, meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan anak serta memperkenalkan pandangan anak pada lingkungan
sosial.
Kedua, memberikan penyuluhan pendidikan.
Penyuluhan pendidikan ini diberikan kepada para orangtua murid demi
kelancaran proses pembelajaran siswa. Tidak sedikit kasus terhambatnya
proses pendidikan dikarenakan pelarangan orangtua murid tersebut, dengan
alasan si anak harus bekerja sebagai pemulung atau pengamen. Oleh
karena itu, dengan adanya penyuluhan pendidikan ini, orang tua diberikan
kesadaran akan urgensi dan substansi pendidikan.
Ketiga, bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga zakat.
Berbekal dana yang terbatas, tidak mudah menerapkan kedua langkah
sebelumnya. Maka dibutuhkan kerjasama dengan LSM/ lembaga zakat yang
telah berpengalaman dalam melancarkan aktivitas sosialnya. Kerjasama
tersebut tidak hanya membuahkan gelontoran dana yang besar, namun akan
didapat pula motivasi dan saran dari instansi terkait.
Pendidikan adalah penopang suatu bangsa. Tidak
berlebihan kiranya dengan masih menyandang status sebagai mahasiswa,
kita dapat lebih peduli terhadap pendidikan yang dienyam oleh masyarakat
sekitar. Jangan takut untuk bersentuhan dengan masyarakat dalam kontak
sosial. Semoga diskursus-diskursus yang terpapar dalam tulisan ini dapat
menopang paradigma kita sebagai mahasiswa agar tidak hanya berkutat
dalam literasi kampus, namun dapat memberikan sumbangsih pikiran dan
tenaga bagi kepala-kepala yang membutuhkan asupan pengetahuan. Tolak
Apatis!! Tolak dekadensi kepedulian!!
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
6 Desember 2011
6 Desember 2011
No comments:
Post a Comment